PENGERTIAN HUKUM ADAT
Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau
kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan
dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari istilah
Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan
istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.
Menurut
ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu
dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia
atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai
perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang
lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan
sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.
Sejarah
perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan
adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui
oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat
yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda
tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum,
maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum
perundangan (wettenrecht).
Istilah
hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m
(jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah
berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Di
Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis
dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung
unsur agama.
Terminologi
“Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu
pengertian padahal sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga yang
berlainan.
Adat
sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal,
ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini
dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil
(hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan
dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi
muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.
Hukum
Adat adalah wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan
memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak
di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu
kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan
kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .
Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
1.
Hukum kebiasaan yang bersifat
tradisional disebut juga hukum adat. Yaitu hukum yang dipertahankan
dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu. Contoh : hukum
adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
2.
Hukum kebiasaan.
Yaitu hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan
pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan
dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk
perundangan.
Ciri-ciri hukum adat adalah :
1.
Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2.
Tidak tersusun secara sistematis.
3.
Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4.
Tidak tertatur.
5.
Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6.
Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :
1.
Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu
dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan
sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2.
Dimensi Adat Krama
Yaitu
dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang
sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.
3.
Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu
dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan
keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama
(disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).
Semua
suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun
sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada
adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.
Melihat
dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya
merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong
royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai
gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari
cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat
dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat
Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki
sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.
Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem
tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk
karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai
wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih
diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.
Dengan
adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem
pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut
menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa
sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah,
ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem
pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar
menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas
kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk
mendongkrak sektor pariwisata.
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Adat
merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Oleh
karena itu, maka tidap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan
sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena
ketidak samaan itu kita dapat mengatakan bagwa adat itu merupakan unsur
yang terpenting yang memberikan identitas kedpa bangsa yang bersangkutan.
Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu
menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang
terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut
menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi
kekal serta tetap segar.
Ditegaskan
bahwa Adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu bahwa :
kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah
mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipunm ada perbedaan sifat
atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum,
namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu
adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga,
sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada
kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan,
diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Hukum
adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh
karena itu para ahli hukum mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia
ini tidak teratur, tidak semurna, tidak tegas. Oleh orang asing hukum
adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian simpang
siur. Karena sulit dimengerti. Dan oleh karena ketidak tahuan itu mereka
menyebutnya demikian.
Apabila
mau mencermati urat akar hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh
perasaan maka sebenarnya banyak hal yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat
dahulu dan sekarang, adat-istiadat yang hidup, yang berkembang serta yang
berirama.
Memang tidak semua kebiasaan-kebiasaan, tradisi, atau adat
itu merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat-istiadat/tradisi dengan hukum
adat. Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya
adat yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Sanksinya
adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan. Reaksi adat
masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu
dilakukan oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakat hukum
yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat,
menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua unsur
didalamnya.pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama
selalu diindahkan oleh rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya
keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya
sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan
kewajiban hukum (opinio yuris neccessitatis)
CORAK-CORAK HUKUM ADAT DI INDONESIA
Hukum
adat kita mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak yang terpenting
adalah :
1. Bercorak Relegiues- Magis :
Menurut
kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan
gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan
lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak
ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan
manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya
pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai
pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap
kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun
rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan
upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah
serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.
Arti Relegieus Magis adalah :
·
Bersifat
kesatuan batin
·
Ada
kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
·
Ada
hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus lainnya.
·
Percaya
adanya kekuatan gaib
·
Pemujaan
terhadap arwah-arwah nenek moyang
·
Setiap
kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
·
Percaya
adanya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti terjadi
gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya.
·
Percaya
adanya kekuatan sakti
·
Adanya
beberapa pantangan-pantangan.
2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya
bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu
kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup
sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan,
kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan..
Secara
singkat arti dari Komunal adalah :
§ Manusia terikat pada kemasyarakatan
tidak bebas dari segala perbuatannya.
§ Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban
sesuai dengan kedudukannya.
§ Hak subyektif berfungsi sosial
§ Kepentingan bersama lebih diutamakan
§ Bersifat gotong royong
§ Sopan santun dan sabar
§ Sangka baik
§ Saling hormat menghormati
§
3. Bercorak Demokrasi
Bahwa
segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama
lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas
permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya
musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil
musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan :
Pemindahan
atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu
peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini
dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya
adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam
setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda
yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus
disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
DASAR HUKUM SAH BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Dalam
Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat.
Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan
Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala
badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan
Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam
UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi
alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang
dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini
pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam
Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia
asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial
mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka
:
1. Hukum
Eropa
2. Hukum
Eropa yang telah diubah
3. Hukum
bagi beberapa golongan bersama dan
4. Hukum
baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu
hukum Eropa.
Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim
yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6)
menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka
yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan
Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23
ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat
dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal
tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No.
14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19
tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam
kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970
disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah
hukum adat.
Dalam
UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup
di masyarakat.
Dari
uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia
adalah :
1. Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2. Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945
3. Pasal
24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
4. Pasal
7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
SUMBER-SUMBER HUKUM ADAT
Sumber-sumber
hukum adat adalah :
1. Adat-istiadat
atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan
tradisionil rakyat
3. Ugeran/
Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4. Perasaan
keadilan yang hidup dalam masyarakat
5. Pepatah
adat
6. Yurisprudensi
adat
7. Dokumen-dokumen
yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan - ketentuan hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab
hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.
9. Doktrin
tentang hukum adat
10. Hasil-hasil
penelitian tentang hukum adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam
masyarakat.
SUMBER
http://hukum.unigo.ac.id/berita-29/hukum-adat-di-indonesia.html
(Sabtu, 30 April 2016 23:10)
ANALISIS
Hukum
adat sangat erat kaitannya dengan kita. Melalui hukum adat kita mendapat
pendidikan moral diluar materi-materi yang seringkali kita pelajari di lembaga
pendidikan. Hukum adat ini terikat secara langsung dengan lingkungan masyarakat
dimana sesorang itu tinggal. Indonesia yang memiliki berbagai macam budaya dan Bahasa,
tentunya juga memiliki hukum adat yang berbeda disetiap daerahnya. Kita harus
mengikuti aturan yang berlaku di daerah dimana kita tinggal.
Sistem
Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami.
Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini
telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang
artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam
Negara Republik Indonesia.
Namun
pada kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih
seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka
terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber
kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme
dan Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai
di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di
Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar